AdvertorialDPRD KALTIM

DPRD Kaltim: Jangan Jadikan Kampung Sidrap Medan Ego Antar Pemerintahan

×

DPRD Kaltim: Jangan Jadikan Kampung Sidrap Medan Ego Antar Pemerintahan

Sebarkan artikel ini
Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan. (Foto: Ist)
Example 468x60

UpdateNusantara.id, Samarinda – Pagi hari di Kampung Sidrap, suara azan dan mesin kapal nelayan bersahutan. Sebuah kehidupan yang tampak tenang, meski diam-diam menyimpan kegelisahan panjang.

Bukan soal cuaca atau harga ikan di pasar. Tapi tentang satu pertanyaan yang tak kunjung punya jawaban pasti: siapa sebenarnya yang memerintah mereka?

Secara geografis, kampung yang terletak di Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan itu masuk wilayah Kabupaten Kutai Timur.

Namun secara administratif, ribuan warganya justru tercatat sebagai penduduk Kota Bontang. KTP Bontang, KK Bontang, sekolah di Bontang, berobat pun ke rumah sakit di Bontang. Sementara pajak dan urusan legal tanah, mengalir ke Kutai Timur.

Dualisme identitas itu sudah berlangsung lebih dari dua dekade. “Persoalan ini muncul sejak pemekaran wilayah pada 1999,” kata Agusriansyah Ridwan, anggota Komisi IV DPRD Kaltim.

Ketika itu, Kabupaten Kutai dimekarkan menjadi Kutai Timur dan Kota Bontang. Kampung Sidrap, yang selama ini menjadi kawasan aktivitas warga dari dua wilayah, tiba-tiba terjebak dalam tarik-menarik administratif.

Agusriansyah paham benar peliknya persoalan ini. Sebagai legislator dari daerah pemilihan Bontang, Kutim, dan Berau, ia menyaksikan langsung bagaimana warga di perbatasan hidup di bawah bayang-bayang kebingungan birokrasi.

“Dari dulu masyarakat sudah terbagi. Tapi sejak Sidrap resmi masuk Kutim, masalah makin rumit,” ujarnya.

Masalah lama itu kembali panas setelah Wakil Wali Kota Bontang melontarkan kritik pedas terhadap Pemkab Kutai Timur. Soal pelayanan publik, soal penanganan Sidrap, bahkan soal klaim wilayah.

Agusriansyah mengingatkan, diskursus seperti ini sebaiknya dibawa ke ruang formal, bukan ke ruang gaduh publik.

“Kalau tak setuju, ajukan ke Kemendagri. Itu jalur resmi. Menyerang kepala daerah lain secara terbuka hanya memperkeruh suasana,” katanya.

Persoalan tapal batas, apalagi menyangkut pelayanan publik, memang tak bisa diselesaikan hanya dengan debat.

Agusriansyah menyarankan agar kedua pemerintah daerah segera duduk satu meja. Tak perlu menunggu arahan pusat, cukup bersepakat untuk memperjelas status layanan warga.

“Daripada terus berdebat, lebih baik dorong Sidrap menjadi desa definitif. Usulan itu sudah ada sejak 2017, tinggal komitmennya saja,” ujarnya.

Ia menegaskan, secara administratif, tak ada lagi yang bisa diperdebatkan: Sidrap masuk wilayah Kutai Timur. Tapi yang lebih penting, kata dia, adalah memastikan warga tetap mendapat pelayanan yang adil, tanpa harus menjadi korban konflik kewenangan.

Di kampung itu, garis batas tak terlihat, tapi terasa. Ada yang berobat gratis di Puskesmas Bontang tapi ditolak saat mengurus surat tanah di Kutim. Anak-anak belajar di sekolah negeri Kota Bontang, tapi alamat rumahnya tertera di kecamatan lain. Di antara dua pemerintahan, warga Sidrap hanya ingin satu hal: kejelasan. (HM/Adv/DPRDKaltim)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 + = 18